AYAM MATI DI LUMBUNG PADI & SEMUT MATI DI TOPLES GULA
ganang@journalist.com
Ada peribahasa kuno yang sering kita dengar, bahkan mungkin akhir akhir ini kembali kita dengar pula. " Ayam Mati di lumbung Padi ". Bung Karno, pernah berkata, " Kalau aku lihat samudra yang biru diantara kepulauan Nusantara, aku melihat Indonesia. Kalau aku melihat, tari gambyong, tari kecak, tari piring, tari jaipong, aku melihat Indonesia. Kalau aku melihat wayang kulit jawa, wayang golek sunda, Aku melihat Indonesia. Kalau aku melihat anak anak kecil bermain cublak cublak suweng, petak umpet, aku melihat keceriaan Indonesia. Kalau aku melihat PADI YANG MENGUNING aku melihat Indonesia". Kataku, "Aneh bin ajaib bukan, kalau kita hidup di negeri yang subur begini, harus berantakan hidup karena BERAS?".
Mungkin saya yang goblog, atau tidak bisa melihat dinamika negeri ini. Beras, susah di cari pasar. kalau ada harganya mahal. Lalu kita mau makan apa? Ada lagi peribahasa lainnya yang tidak kalah maknanya. " Semut Mati di Toples Gula". Kakek saya (alm) Sariredjo, seorang pensiunan karyawan yang mengabdikan dirinya kepada Perkebunan/ Pabrik Gula, pernah berkata pada saya tahun 1986. " Dulu, saat masih di jajah Belanda, Gula melimpah ruah. Bahkan kata Sinder-sinder Londo itu, kita bisa Ekspor Gula".
Memaknai hal tersebut, saya jadi binggung sekaligus merasa bodoh. Kenapa Bangsa ini selalu mengaku sebagai bangsa yang besar, bangsa yang kaya, bangsa yang makmur, bangsa yang Gemah Ripah Loh Jinawi, tapi ngurus produksi Beras ndak becus. Memanajeni Gula, ndak bisa. Saya bukan Insinyur Pertanian, bukan pula Ahli Ekonomi. Saya hanya anak pensiunan Buruh Perkebunan, itupun bukan dari kalangan SINDER. Saya hanya prihatin, sampai kapan kita harus mikirin dan kecebur dalam kubangan masalah Beras dan Gula saja, setiap saat setiap waktu. Lalu kapan kita akan membangun, seperti yang pernah dicita-citakan Bung Karno, Bung Hatta dan para The Founding Fathers kita lainnya.
Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan Perkebunan/ pabrik Gula, saya hanya bisa berharap, kelak semuanya akan berakhir dengan kembali Indonesia Swasembada Pangan. Indonesia Ekspor Gula ke Mancanegara. Tapi kapan??? Sebuah catatan yang ditulis oleh Siswono Yudo Husodo berikut ini, barangkali dapat menjadi cermin bagi bangsa ini untuk kembali menjadikan Negerinya, negeri yang Makmur dan Kaya Raya karena hasil buminya.
Utopia atau Realistis?
Siswono Yudo Husodo
DARI negara pengekspor gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Kuba di zaman penjajahan Belanda, sekarang Indonesia menjadi negara importir gula terbesar nomor 2 di dunia setelah Rusia. Dapatkah industri gula Indonesia kembali berjaya dan menjadikan Indonesia negara eksportir gula?
Keraguan akan kemampuan meningkatkan produksi gula Indonesia muncul akibat merosotnya produksi gula sebesar 40 persen selama 6 tahun dari 2,490 juta ton di tahun 1993 menjadi 1,493 juta ton di tahun 1999. Pada kurun yang sama, kebutuhan gula dalam negeri meningkat 17 persen dari 2,699 juta ton menjadi 3 juta ton. Akibatnya, impor meningkat 8 kali lipat, dari 236.719 ton menjadi 2.187.133 ton.
Optimisme untuk bangkitnya kembali industri gula kita sempat tebersit dengan melihat meningkatnya produksi selama tiga tahun terakhir sebesar 20 persen dari 1,493 juta ton di tahun 1999 menjadi 1,805 juta ton di tahun 2002.
Hanya saja rasa optimisme itu terganggu oleh rendahnya produktivitas kebun tebu di Jawa. Di zaman penjajahan Belanda, satu hektar kebun tebu di Jawa dapat menghasilkan rata-rata 15 ton gula, sementara pada waktu ini rata-rata hasilnya hanya 4,5 ton gula.
Di zaman penjajahan Belanda, pada masa puncaknya produksi gula, luas areal tanaman tebu di Indonesia (hanya di Jawa) hanya 190.000 ha. Namun, mereka bisa menghasilkan 2,85 juta ton gula setiap tahunnya. Pada waktu ini, dengan luas kebun tebu di Jawa kurang lebih 230.000 ha, tingkat produksinya hanya menghasilkan kurang lebih 1,1 juta ton gula.
Indonesia kini memiliki pabrik gula di Lampung, yang produktivitasnya termasuk yang paling efisien di dunia. Inilah yang membuat saya optimistis bahwa Indonesia akan dapat kembali menjadi negara eksportir gula.
Biaya produksi gula di 62 negara produsen gula dunia, bila dibagi dalam tiga kelompok, yaitu kelompok yang efisien, menengah, dan yang mahal, maka pabrik-pabrik gula di Lampung termasuk dalam kelompok yang efisien. Sedangkan pabrik-pabrik gula yang terdapat di Pulau Jawa termasuk kelompok yang mahal. Pada waktu ini, rata-rata biaya produksi gula di negara-negara yang paling efisien sekitar 260 dollar AS/ton, lebih tinggi dari harga gula di pasar internasional yang sekitar 220 dollar AS/ton.
Kondisi harga gula dunia yang sangat murah, lebih murah dari biaya produksi di negara-negara yang paling efisien itu, terjadi karena dunia sedang kelebihan gula. Pasar gula dunia memang sangat berfluktuasi dan labil. Indonesia sebagai negara importir gula pernah mengalami kesulitan ketika harga gula dunia melambung tinggi mencapai 771,6 dollar AS/ton di tahun 1971-1974 dan 625 dollar AS/ton di tahun 1980-1982, yang disebabkan oleh kekurangan gula di dunia. Terlampir statistik harga gula di pasar dunia tahun 1964- 2000.
Melihat fluktuasi harga gula dunia dan mempertimbangkan besarnya penduduk Indonesia yang 210 juta jiwa dengan pertambahan 1,6 persen per tahun, serta memperhatikan potensi yang tersedia, menurut hemat saya, pemerintah perlu menetapkan agar dalam waktu yang tidak terlalulama kira- kira 8-10 tahun, Indonesia dapat kembali memenuhi sendiri kebutuhan gulanya. Bahkan, lebih dari itu Indonesia harus kembali menjadi eksportir gula.
Ketetapan ini akan dapat terwujud manakala didukung oleh kondisi yang kondusif untuk peningkatan produksi. Jika dari areal tebu di pulau Jawa yang seluas 230.000 ha ditata kembali menjadi hanya 220.000 ha, tetapi dengan produktivitas yang meningkat menjadi 10 ton/ha (hanya 66 persen dari produktivitas kebun di zaman Belanda), maka Indonesia akan mencapai kondisi swasembada gula.
Dengan demikian, pabrik dipaksa menjamin produktivitasnya di atas 8 ton/ha. Untuk itu, mau tidak mau, mereka harus memanfaatkan air di bawah tanah sebagai sumber irigasi (seperti di India) serta mengganti benih dengan benih unggul. PARA ahli gula dunia berpendapat, Indonesia sangat berpotensi untuk mengembangkan industri gula.Indonesia termasuk salah satu dari 33 negara yang dikenal sebagai IOR (Indian Ocean Rim), yang berperan penting dalam pergulaan dunia. Karena Indonesia mampu menghasilkan 34 persen produksi gula dunia, mengonsumsi 29 persen konsumsi gula dunia, dan menyuplai 33 persen ekspor gula dunia. Ke-14 negara di antara 33 negara IOR, yang dipandang sebagai eksportir gula dunia, yaitu India, Pakistan, Madagaskar, Afrika Selatan, Zimbabwe, Zambia, Sudan, Swaziland, Vietnam, Thailand, Mauritius, Australia, dan Indonesia. MESKIPUN kenyataan sekarang Indonesia adalah negara importir gula yang amat besar, penilaian para ahli gula dunia bahwa Indonesia berpotensi besar untuk menjadi negara produsen dan eksportir gula dunia bukanlah suatu penilaian yang tak berdasar.
Iklim di Indonesia sangat sesuai untuk tebu. Indonesia juga merupakan negara terkaya sumber daya genetik tebu dan diyakini sebagai daerah asal tebu dunia. Tersedianya sekitar 2 juta ha lahan yang sesuai untuk tanaman tebu di Kalimantan, Maluku, dan Papua, meyakinkan saya bahwa Indonesia, dengan perencanaan, kebijakan, dan pengembangan yang tepat, akan dapat kembali menjadi negara eksportir gula.
Dengan kebutuhan gula 3,36 juta ton setiap tahunnya yang meningkat 2,5 persen per tahun, pada waktu ini Indonesia menempati urutan kedelapan konsumen gula terbesar dunia. Ini menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pasar gula yang sangat besar. Pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi (1,6 persen/tahun) dan tingkat konsumsi per kapitanya yang masih rendah (15 kg /kapita /tahun; rata-rata dunia telah mencapai 25,1 kg /kapita /tahun) membuat pasar gula indonesia ke depan akan melonjak sangat besar dan berpotensi menjadi pasar gula terbesar nomor 4 di dunia dalam 20 tahun yang akan datang.
Pasar gula yang amat besar itu selama ini belum dimanfaatkan oleh kebijakan negara untuk mengembangkan industri gula dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya, pasar gula Indonesia dimanfaatkan oleh produsen gula luar negeri dan sekaligus kondisi harga gula dunia telah berperan memerosotkan industri gula nasional.
Yang menarik untuk dicatat adalah bahwa negara-negara Amerika Serikat, Jepang, Australia, negara-negara Eropa, India, Filipina, dan Thailand, yang harga gula di pasar domestiknya lebih tinggi dari Indonesia, tidak dibanjiri gula impor dan industri gulanya bahkan meningkat.
Bahkan, Uni Eropa menjadi negara pengekspor gula utama di dunia, padahal Uni Eropa menghasilkan gula dari beet yang biaya produksinya 70 persen lebih mahal daripada gula tebu. Negara-negara eksportir gula itu (Australia, India, Thailand, Amerika, dan Brasil) mampu mengekspor gulanya dengan harga di bawah biaya produksinya. Jawaban atas semua keanehan itu adalah karena negara-negara yang bersangkutan melindungi potensi industri gulanya dan memanfaatkan pasar di dalam negerinya untuk memperkuat industrinya. Kebijakan itu perlu kita contoh. Yang terjadi di Indonesia, masuknya gula murah dunia telah ikut menghancurkan industri gula kita.
Masuknya paha ayam murah dari AS menghancurkan peternakan ayam kita. Masuknya pakaian bekas yang sangat murah menghancurkan industri garmen dan konfeksi kita. Industri apa yang akan jadi korban berikut? Pada waktu ini, tingkat ketergantungan pada gulaimpor mencapai 72 persen dari kapasitas produksi industri gula nasional yang masih bekerja. Angka itu menunjukkan, dari sisi produksi pabrik bisa ditingkatkan.
Dari sisi produktivitas kebun, juga bisa ditingkatkan. Dalam perspektif jangka panjang, upaya meningkatkan produksi gula dalam negeri merupakan upaya strategis yang paling tepat untuk memecahkan persoalan pergulaan Indonesia. Upaya peningkatan produksi dalam negeri, betapapun pentingnya, harus senantiasa memperhatikan pertimbangan-pertimbangan efisiensi.
Besarnya pasar gula Indonesia merupakan peluang bisnis yang akan mendorong tumbuh berkembangnya pabrik-pabrik baru dan peluang peningkatan penghasilan petani serta penyediaan lapangan kerja baru. Syaratnya, harga gula di dalam negeri memberi keuntungan pada industri gula dan petani tebu. Instrumen yang tersedia untuk menjaga dampak negatif dari fluktuasinya harga gula dunia adalah Bea Masuk.
SEJAK letter of intent yang pertama, Februari 1998, sesuai dengan agreement yang telah disepakati IMF dengan Pemerintah RI, Pemerintah menetapkan bea masuk gula 0 persen. Akibatnya, Indonesia dibanjiri gula impor yang murah, produksi gula dalam negeri merosot tajam, hampir 30 persen dalam satu tahun, dari 2,1 juta ton di tahun 1998, menjadi 1.493. 067 ton di tahun 1999. Impor gula meningkat 40 persen dari 1,4 juta ton di tahun 1998, menjadi 1,9 juta ton di tahun 1999.
Membiarkan pasar dalam negeri kita yang amat besar ini dibanjiri gula murah itu berakibat hancurnya industri gula nasional. Baru kemudian pada butir 90 letter of intent tahun 1999 ditetapkan bea masuk gula 25 persen yang harus secara bertahap dikurangi. Kemudian, oleh desakan berbagai pihak, dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 324/KMK 01/2002, tarif bea masuk gula putih ditetapkan Rp. 700/kg dan raw sugar Rp 550/kg. Apakah itu cukup? Menurut hemat saya, masih kurang kalau melihat bea masuk gula ke Thailand dan India yang di atas 70 persen.
Tampak jelas bahwa pengelolaan kebijakan ekonomi tidak berlandaskan ideologi yang jelas. Ideologi dalam arti cita-cita jangka panjang yang didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara, yang dijabarkan dalam rangkaian kebijakan untuk mencapai sasaran jangka panjang itu. Setiap kali ganti pemerintahan, berganti pula kebijakan dasarnya. Sepatutnyalah untuk produk-produk yang kita memiliki keunggulan komparatif yang amat tinggi (seperti beras, gula, karet, sawit, lada, pala, kopi, perikanan, kayu, dan lain-lain) beserta deretan industri downstream-nya, Indonesia menetapkan sasaran untuk dapat ikut menjadi pemasok kebutuhan dunia, sekaligus memperkuat perekonomiannya.
Pasar pangan yang amat besar yang kita miliki selayaknyalah dimanfaatkan untuk juga memperkuat perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan melihat masalah-masalah yang ada, serta potensi yang tersedia, membangun kembali kejayaan industri gula di Indonesia, dan menjadikan Indonesia negara eksportir gula, bukanlah suatu utopia, tetapi suatu hal yang dapat dan sepatutnya diusahakan dalam tahun-tahun yang akan datang ini.
Berdasar artikel 19 GATT/WTO, waktu kita yang tersedia telah sangat terbatas, tinggal 8 tahun untuk menggunakan hak Auto Defense Mechanism. Untuk mencapai kondisi yang kondusif bagi peningkatan produksi, pemerintah melalui Bulog/PTPN/RNI perlu mengendalikan keseimbangan supply & demand dan disertai penggunaan instrumen bea masuk, pemerintah perlu menjaga agar harga gula di dalam negeri (pada waktu ini) berfluktuasi antara Rp 3.800/kg sampai Rp 4.100/kg. Tingkat harga tersebut cukup memberi insentif bagi pengembangan produksi dan tidak memberatkan konsumen.
Bersamaan dengan itu, manajemen pabrik gula dan kebun tebu di Jawa perlu dibenahi, dengan manajemen kebun oleh pabrik gula, dengan pabrik menjamin produktivitas tebu di atas 8 ton/ha, dengan luas areal tanaman tebu 220.000 ha, serta pembukaan pabrik-pabrik gula baru dan perluasan kebun-kebun tebu di luar Jawa.
Semoga tokoh-tokoh gula Indonesia yang sempat menyaksikan kejayaan gula Indonesia pada masa lalu, di usia beliau-beliau yang telah sangat senja ini, akan masih dapat melihat kembalinya kejayaan itu.
Siswono Yudo Husodo, Mantan Menteri/Ketua HKTI
http://www.unisosdem.org/article_printfriendly.php?aid=1751&coid=2&caid=19
1 comment:
Why Vegas Casinos are Good for Slots - Dr.MCD
Las Vegas 경기도 출장마사지 casinos use the technology to 청주 출장마사지 attract 동해 출장안마 new customers. But it also offers 창원 출장샵 players the 정읍 출장안마 chance to gamble online, if the casino isn't in the
Post a Comment