Friday, December 30, 2011

NAPAK TILAS KE WILAYAH PERKEBUNAN

(catatan : sebelum melihat foto foto, sebaiknya membaca dulu narasi lengkap berikut)

Saya memulainya dari mana ya? Saya bangga sebagai “anak perkebunan”. Semoga tulisan ini menjadi sebuah catatan, setidaknya bagi saya pribadi dan pula informasi atau tambahan pengetahuan bagi yang membacanya.

Saya tiga bersaudara, anak pertama, kedua adik saya dua duanya perempuan dan pula telah berumah tangga. Satu diantaranya, bahkan kini masih tinggal di area perkebunan dan bekerja sebagai staff administrasi pada Pusat Penelitian Gula dibawah naungan PT. Perkebunan Nusantara X (Persero), Direktorat SDM Dan Umum, Bidang Penelitian. Lembaga ini mengelola penelitian pada 11 (sebelas) Pabrik Gula di lingkungan PTPN 10 (Persero) yang berkedudukan di Penataran Djengkol – Plosokidul – Plosoklaten Kediri.

Ayah saya, adalah pensiunan karyawan ‘perkebunan’ di Pabrik Gula (PG) Pesantren Baru, yang berkedudukan di timur Kota Kediri Jawa Timur yaitu PG. Pesantren Baru, adalah salah satu Unit Usaha milik PTPN X, sepuluh PG lainnya tersebar di wilayah Jawa Timur yaitu : PG.Watoetoelis, PG.Toelangan, PG.Kremboong, PG.Gempolkerep, PG.Djombang baru, PG. Tjoekir, PG.Lestari, PG.Meritjan, PG.Ngadirejo dan PG.Modjopanggoong. Pabrik Gula ini memproduksi gula putih dengan mutu SHS IA (Superior High Sugar) dan tetes dari bahan baku tanaman tebu dengan kualitas produk Gula, ICUMSA = 150 lu dengan gram (butiran) 1,08mm dan Tetes, TSAI = 55,8%. Bahan baku tanaman tebu diperoleh dari lahan dengan status kepemilikan : Tebu sendiri yang berasal dari lahan Hak Guna Usaha (HGU) seluas ± 5% dari keseluruhan lahan, dan Tebu yang berasal dari petani atau istilah umumnya Tebu Rakyat (TR) seluas ± 90% dari keseluruhan lahan tanaman tebu. (dari http://www.ptpn10.com).

Sebagai anak perkebunan, saya dibesarkan dilingkungan yang jauh dari kota, bahkan sekolah-pun harus ke kota Kediri. Melanjutkan sekolah tingkat SMP dan SMA di kota, utamanya sekolah favorit pada decade 70-80an adalah dambaan setiap anak perkebunan. Disekeliling perkebunan, ada pula sekolah tingkat ini. Hanya, bila sekolah menggunakan kendaraan sendiri. Berbeda bila sekolah di kota, disiapkan kendaraan antar jemput. Saya dan sebagian besar orang menyebutnya dengan “bus sekolah”.

Tempat itu bernama Perkebunan Djengkol. Jangan berharap menemukan rimbunnya dan hamparan pohon Jengkol di wilayah ini. Entah sejak kapan disebut nama Jengkol. Tetapi dalam peta peta lama terbitan Hindia Belanda (abad 18 – 19), hingga kini tertera nama “DJENGKOL”. Perkebunan Djengkol, disebut juga dengan “Penataran Djengkol”. Djengkol, dulunya adalah perkebunan Cassave (Ketela Pohon/ Singkong) bahan baku tepung tapioca dan Serat Nanas (untuk bahan karung) milik HVA (Handelsvereeniging Amsterdam) pada akhir abad 18 hingga nasionalisasi perusahan asing pada pemerintahan Bung Karno tahun 50an.

Layaknya kawasan industry jaman sekarang, dulu Pabrik ini memiliki sarana dan infrastruktur yang lengkap. Pabrik (emplacement), Perumahan karyawan, pimpinan perusahaan, rumah ibadah, sekolah, gedung pertunjukan seni dan budaya, lapangan olahraga, poliklinik, pasar, hingga sarana telekomunikasi (telephone). Pendek kata segala sarana dan prasarana sangat menunjang pada jamannya. Hanya, dikelilingi oleh hutan dan perkebunan, jauh dari wilayah kota.

Djengkol, berada diantara ruas jalan Pare (Kediri) yang menghubungkan ke Blitar (melalui Wates). Bekas pabrik itu kini masih ada dan masih digunakan, meski tidak memproduksi Karung Goni lagi. Setelah nasionalisasi, Djengkol yang awalnya adalah lahan perkebunan milik PG. Ngadiredjo (selatan Kediri), kini menjadi wilayah Pabrik Gula Pesantren Baru.

Penataran Djengkol, lahannya berada di timur kawasan eks pabrik, diantaranya Kentoong, Simbar Lor, Simbar Kidul, Bakoong (Bakung), Truneng dan Kallasan. Beberapa diantaranya, secara administrative kewilayahan kini masuk desa Trisula dan Jarak, semuanya di wilayah Kecamatan Plosoklaten. Sedang Djengkol, kini menjadi nama dusun, masuk wilayah Desa Plosokidul.

Menjadi keasyikan tersendiri bagi saya, suatu waktu dapat kembali napak tilas dan jalan jalan diwilayah perkebunan yang masuk dalam wilayah Penataran Djengkol ini. Hitung hitung nostalgia, jaman kecil dulu, bila masa liburan sekolah datang, saya sering diajak keliling wilayah perkebunan ini, oleh ayah saya.

Sayang pada kunjungan saya waktu itu, tidak sedang musim jelang panen “tebang tebu” jadi tanaman tebu semuanya dalam kondisi musim tanam, alias masih kecil kecil. Dimasing masing wilayah perkebunan, terdapat rumah tinggal buruh perkebunan. Biasanya dipimpin oleh “kepala kampong”, demikian istilah pada masa Hindia Belanda dulu. Lokasi yang jauh dari “Djengkol” ini, sekitar 3 – 7 kilometer, dan berada di lereng Gunung Kelud. Tak hanya rumah buruh, tapi pula ada kantor wilayahnya. Hanya, sebagain besar kini menyisakan bekas bekas-nya saja, atau hanya sisa pondasi-nya, mengingat sudah berdiri sejak akhir abad 19.

Seperti yang dituturkan oleh Kakek (Bapak ayah saya) yang juga orang perkebunan, masing masing kampong : Djengkol, Kentoong, Truneng, Simbar, Bakoong dulu dihubungkan dengan jalur rel kereta api uap (lorrie). Di Bakoong (bakung) misalanya, pada tahun 80an saya masih bisa melihat emplacement layaknya komplek stasiun kereta api besar. Yang membedakan, di Bakung ini jalur jalur keretapinya yang banyak untuk pengangkutan tebu pada musim giling dan inspeksi pada musim tanam. Kini hanya bekas bekasnya saja, sementara rel dan lorrie sudah tidak digunakan lagi, karena sudah diganti dengan kendaraan darat roda empat, seperti jeep dan mobil pick-up. Sementara untuk pengangkutan tebu, digunakan truk truk sewaan.

Hingga kini, komplek perumahan di tengah perkebunan itu masih dihuni oleh para buruh perkebunan. Mereka mungkin sudah generasi ke tiga ke empat, semenjak kali pertama leluhurnya mendiami wilayah ini. Mereka juga masih bekerja di perkebunan, meski sebagian lainnya ada yang mencari nafkah tak menjadi buruh perkebunan, di luar kebun.

Membayangkan keseharian di wilayah perkebunan, tentu sepi, apalagi bila malam tiba. Saya dan keluarga, meski tidak tinggal di tengah perkebunan utama-nya saja, sudah merasa sepi kala itu 80-90an. Padahal, tempat tinggal kami di komplek perumahan yang dekat dengan eks. pabrik, berada di antara jalan raya yang menghubungkan Kediri ke Blitar. Pengin tahu apa hiburan saya kala itu? Hanya membaca buku, nonton TV (malam hari saja, TVRI) dan mendengarkan radio. Lainnya, sesekali ke-kota untuk belanja bulanan. Beruntung, sering diajak ayah ke berbagai tempat atau kota di pulau Jawa ini. Sehingga saya jadi memahami “dunia luar”.

Tapi, namanya saja anak perkebunan. Meski kini sudah di kota, inginnya memiliki rumah malah diwilayah pedesaan, yang asri, hijau dan berudara segar dan sejuk. Semoga, tak hanya sekadar bernostalgia, tapi memang beginilah “anak perkebunan”, merasa nyaman bila di kampong.